Selasa, 01 Maret 2016

MAJULAH PETANIKU, JAYALAH INDONESIAKU !

Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi taman”. Itulah sepotong bait karya anak bangsa yang menunjukan kejayaan pertanian indonesia masa dulu. Masa-masa saat negara kita dengan bangga swasembada pangan.
Indonesia merupakan negara besar dengan segala sumberdaya alam yang melimpah dan tanah yang subur. Kekayaan alam yang demikian sangat memungkinkan indonesia menjadi negara agararis yang maju. Didukung oleh keadaan geografis indonesia yang beraneka ragam juga memungkinkan tumbuhnya berbagai jenis komoditas tanaman. Mulai dari tanaman makanan pokok, sayur mayur hingga buah-buahan.
Bak permata yang hilang, anugerah yang demikian besarnya belum mampu dimanfaatkan secara maksimal, hal ini terbukti dengan masih banyaknya impor bahan makanan yang kita lakukan. Menurut data dari Himpunan Kerukunan Tani Indonesia  bahwa “setiap tahun kita mengimpor lebih dari 5 juta ton gandum senilai kurang lebih Rp. 15 triliun”. Selain itu menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), “di bulan Agustus saja, Indonesia sudah mengimpor beras hingga 35.818 ton dengan nilai US$ 19,132 juta. Jika diakumulasikan dari bulan Januari hingga Agustus 2013, banyaknya beras yang masuk ke Indonesia dari 5 negara tersebut tercatat sedikitnya 302.707 ton beras dengan nilai US$ 156,332 juta” ( Kusuma, 4 oktober 2013).
Tidak hanya beras, lebih parah lagi sayur dan buah yang beredaran laku di pasaran adalah buah dan sayur impor Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, impor sayur dari China mencapai nilai US$ 317,17 juta dengan berat 377,48 kilogram (kg). Myanmar dan Australia dengan nilai impor masing-masing US$ 43,48 juta serta US$ 21,31 juta. Lalu nilai impor India dan Kanada yang memasok sayur bagi Indonesia mencapai masing-masing US$ 17,54 juta dan US$ 12,84 juta. Sedangkan negara lainnya mengimpor sayur bernilai US$ 56,88 juta, sehingga secara total nilai impor sayur sepanjang Januari-Agustus 2013 sebesar US$ 469,22 juta (Ariyanti: 14 oktober 2013). Dengan keadaan impor yang demikian masih pantaskah indonesia disebut sebagai negara agraris?
Jika melihat realita di atas mungkin terlintas di benak kita bahwa indonesia tidak lagi cocok disebut sebagai negara agraris. Namun jika kita melirik ke daerah pedesaan yang disana  masih banyak tinggal para petani yang berjuang untuk menyediakan nasi, nampaknya pandangan itu bisa agak hilang.
 Ada banyak faktor yang menjadi penyebab rendahnya kualitas pertanian di indonesia. Pertama adalah masalah yang berakar dari sumberdaya manusia pertanian baik secara kuantitas maupun kualitas. Secara  kuantitas misalnya banyak orang yang tidak tertarik kepada pertanian, karena menganggap pekerjaan petani adalah pekerjaan yang rendah, resikonya tinggi, dan hasilnya tidak menentu. Bahkan ada paradigma baru bahwa bekerja di kota sebagai kuli hasilnya lebih bisa dirasakan daripada menetap di desa menjadi petani. Akibatnya sebagian besar profesi sebagai petani dijalankan secara turun temurun dari satu generasi ke genarasi selanjutnya, yang akhirnya berdampak pada kualitas seumberdaya pertanian yang kurang paham terhadap ilmu pertanian.
Dari masalah kuantitas dan kualitas sumberdaya manusia ternyata menjadi sporadis bagi masalah-masalah yang selanjutnya. Masalah kedua adalah kualitas produk pertanian. Hal itu dikarenakan pengetahuan petani yang rendah, dan kebanyakan petani selalu mengikuti tren tanaman yang paling mahal harganya tanpa melakukan perhitungan yang pasti. Misalnya saat ini harga cabai sedang naik, maka bondong-bondong pentani menanam cabai dengan cara penanaman yang ikut-ikutan. Akibatnya kualitas hasil pertanian mereka kurang maksimal.
Masalah yang ketiga adalah pihak pemerintahan yaitu dinas pertanian yang belum bisa mengakomodir kebutuhan petani. Kebutuhan petani bukan hanya pada pupuk dan benih saja, namun petani juga butuh pengalaman, pengetahuan dan cara-cara baru untuk  bertani. Sebenarnya pemerintah melalui kantor pertanian yang ada di kecamatan telah melakukan penyuluhan dan pelatihan kepada petani baik cara mencangkul, cara menam benih, dan penggunaan pupuk. Namun yang sangat disayangkan adalah rendahnya minat masyarakat terhadap kegiatan itu. Buktinya setiap ada kegiatan penyuluhan yang datang adalah petani-petani yang usianya sudah tua. Kondisi peserta yang sudah tua tentu memiliki berbagai macam keterbatasan. Diantaranya adalah keterbatasan IQ, sehingga walaupun diajari berbagi macam pembaruan cara, peserta akan sungkan untuk melakukan pembaruan.
Keadaan yang demikian harus segera dibenahi oleh semua pihak, agar masalah yang ada tidak berlanjut, dan kondisi pertanian lebih baik lagi. Untuk itu perlu adanya sinergi antara pemerintah dan masyarakat untuk mengatasinya. Langkah yang dapat ditempuh adalah: pertama adalah dengan membuat generasi muda berminat dengan sektor pertanian. Cara yang dapat ditempuh adalah dengan membuat kompetisi bertani untuk pemuda yang diselenggarakan oleh masyarakat bekerjasama dengan Dinas Pertanian dan fakultas pertanian. Kompetisi ini bebas diikuti oleh seluruh pemuda yang ada di suatu wilayah kabupaten atau kota tertentu. Dari kompetisi itu selanjutnya dipilih 2 orang duta pertanian. Duta pertanian ini selanjutnya berkewajiban untuk memajukan pertanian yang ada di daerahnya.
Kedua untuk membenahi ketrampilan dan pengetahuan para petani turunan, dapat melalui workshop pertanian yang dapat diselenggarakan oleh dinas pertanian bekerjasama dengan fakultas pertanian.
Ketiga, untuk memperbaiki kualitas hasil pertanian bisa dibentuk pemuda pelopor pertanian yang anggotanya dapat di ambil dari peserta kompetisi, mahasiswa fakultas pertanian, serta pemuda lain yang peduli dengan pertanian. Kegiatan yang dilakukan oleh pemuda pelopor pertanian ini berupa pendampingan dan pengontrolan terhadap petani dalam menanam tanaman.

Dengan demikian untuk mengatasi masalah pertanian perlu adanya sinergi dari berbagai pihak dalam menanggulangi masalah pertanian, mulai dari malibatkan pemuda sebagai calon penerus estafet pertanian, petani yang ada sekarang dan pemerintah melalui Dinas Pertanian .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar