“Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan
batu jadi taman”. Itulah sepotong bait karya anak bangsa yang menunjukan kejayaan
pertanian indonesia masa dulu. Masa-masa saat negara kita dengan bangga swasembada
pangan.
Indonesia merupakan negara besar dengan segala sumberdaya
alam yang melimpah dan tanah yang subur. Kekayaan alam yang demikian sangat
memungkinkan indonesia menjadi negara agararis yang maju. Didukung oleh keadaan
geografis indonesia yang beraneka ragam juga memungkinkan tumbuhnya berbagai
jenis komoditas tanaman. Mulai dari tanaman makanan pokok, sayur mayur hingga
buah-buahan.
Bak permata yang hilang, anugerah yang demikian besarnya
belum mampu dimanfaatkan secara maksimal, hal ini terbukti dengan masih
banyaknya impor bahan makanan yang kita lakukan. Menurut data dari Himpunan
Kerukunan Tani Indonesia bahwa “setiap tahun
kita mengimpor lebih dari 5 juta ton gandum senilai kurang lebih Rp. 15 triliun”.
Selain itu menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS),
“di bulan Agustus saja, Indonesia sudah mengimpor beras hingga 35.818 ton
dengan nilai US$ 19,132 juta. Jika diakumulasikan dari bulan Januari hingga
Agustus 2013, banyaknya beras yang masuk ke Indonesia dari 5 negara tersebut
tercatat sedikitnya 302.707 ton beras dengan nilai US$ 156,332 juta” ( Kusuma, 4 oktober 2013).
Tidak hanya beras,
lebih parah lagi sayur dan buah yang beredaran laku di pasaran adalah buah dan
sayur impor Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat,
impor sayur dari China mencapai nilai US$ 317,17 juta dengan berat 377,48
kilogram (kg). Myanmar dan
Australia dengan nilai impor masing-masing US$ 43,48 juta serta US$ 21,31 juta.
Lalu nilai impor India dan Kanada yang memasok sayur bagi Indonesia mencapai
masing-masing US$ 17,54 juta dan US$ 12,84 juta. Sedangkan negara lainnya
mengimpor sayur bernilai US$ 56,88 juta, sehingga secara total nilai impor
sayur sepanjang Januari-Agustus 2013 sebesar US$ 469,22 juta (Ariyanti: 14
oktober 2013). Dengan keadaan impor yang demikian masih pantaskah indonesia
disebut sebagai negara agraris?
Jika melihat realita di atas
mungkin terlintas di benak kita bahwa indonesia tidak lagi cocok disebut
sebagai negara agraris. Namun jika kita melirik ke daerah pedesaan yang disana masih banyak tinggal para petani yang
berjuang untuk menyediakan nasi, nampaknya pandangan itu bisa agak hilang.
Ada banyak faktor yang menjadi penyebab
rendahnya kualitas pertanian di indonesia. Pertama adalah masalah yang berakar
dari sumberdaya manusia pertanian baik secara kuantitas maupun kualitas. Secara kuantitas misalnya banyak orang yang tidak
tertarik kepada pertanian, karena menganggap pekerjaan petani adalah pekerjaan
yang rendah, resikonya tinggi, dan hasilnya tidak menentu. Bahkan ada paradigma
baru bahwa bekerja di kota sebagai kuli hasilnya lebih bisa dirasakan daripada
menetap di desa menjadi petani. Akibatnya sebagian besar profesi sebagai petani
dijalankan secara turun temurun dari satu generasi ke genarasi selanjutnya,
yang akhirnya berdampak pada kualitas seumberdaya pertanian yang kurang paham
terhadap ilmu pertanian.
Dari masalah kuantitas dan kualitas
sumberdaya manusia ternyata menjadi sporadis bagi masalah-masalah yang selanjutnya.
Masalah kedua adalah kualitas produk pertanian. Hal itu dikarenakan pengetahuan
petani yang rendah, dan kebanyakan petani selalu mengikuti tren tanaman yang
paling mahal harganya tanpa melakukan perhitungan yang pasti. Misalnya saat ini
harga cabai sedang naik, maka bondong-bondong pentani menanam cabai dengan cara
penanaman yang ikut-ikutan. Akibatnya kualitas hasil pertanian mereka kurang
maksimal.
Masalah yang ketiga adalah pihak
pemerintahan yaitu dinas pertanian yang belum bisa mengakomodir kebutuhan petani.
Kebutuhan petani bukan hanya pada pupuk dan benih saja, namun petani juga butuh
pengalaman, pengetahuan dan cara-cara baru untuk bertani. Sebenarnya pemerintah melalui kantor
pertanian yang ada di kecamatan telah melakukan penyuluhan dan pelatihan kepada
petani baik cara mencangkul, cara menam benih, dan penggunaan pupuk. Namun yang
sangat disayangkan adalah rendahnya minat masyarakat terhadap kegiatan itu.
Buktinya setiap ada kegiatan penyuluhan yang datang adalah petani-petani yang
usianya sudah tua. Kondisi peserta yang sudah tua tentu memiliki berbagai macam
keterbatasan. Diantaranya adalah keterbatasan IQ, sehingga walaupun diajari
berbagi macam pembaruan cara, peserta akan sungkan untuk melakukan pembaruan.
Keadaan yang demikian harus segera dibenahi
oleh semua pihak, agar masalah yang ada tidak berlanjut, dan kondisi pertanian
lebih baik lagi. Untuk itu perlu adanya sinergi antara pemerintah dan
masyarakat untuk mengatasinya. Langkah yang dapat ditempuh adalah: pertama
adalah dengan membuat generasi muda berminat dengan sektor pertanian. Cara yang
dapat ditempuh adalah dengan membuat kompetisi bertani untuk pemuda yang
diselenggarakan oleh masyarakat bekerjasama dengan Dinas Pertanian dan fakultas
pertanian. Kompetisi ini bebas diikuti oleh seluruh pemuda yang ada di suatu
wilayah kabupaten atau kota tertentu. Dari kompetisi itu selanjutnya dipilih 2
orang duta pertanian. Duta pertanian ini selanjutnya berkewajiban untuk
memajukan pertanian yang ada di daerahnya.
Kedua untuk membenahi ketrampilan dan pengetahuan
para petani turunan, dapat melalui workshop pertanian yang dapat
diselenggarakan oleh dinas pertanian bekerjasama dengan fakultas pertanian.
Ketiga, untuk memperbaiki kualitas hasil
pertanian bisa dibentuk pemuda pelopor pertanian yang anggotanya dapat di ambil
dari peserta kompetisi, mahasiswa fakultas pertanian, serta pemuda lain yang
peduli dengan pertanian. Kegiatan yang dilakukan oleh pemuda pelopor pertanian
ini berupa pendampingan dan pengontrolan terhadap petani dalam menanam tanaman.
Dengan demikian untuk mengatasi masalah
pertanian perlu adanya sinergi dari berbagai pihak dalam menanggulangi masalah
pertanian, mulai dari malibatkan pemuda sebagai calon penerus estafet pertanian,
petani yang ada sekarang dan pemerintah melalui Dinas Pertanian .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar